Tuesday, February 26, 2008

Kompas 26-Feb-08: Menabur Benih Jarak Pagar

Menabur Benih Jarak Pagar
KOMPAS/NAWA TUNGGAL / Kompas Images
Domo (27), pemuda Desa Kanigoro, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menunjukkan salah satu pohon jarak terbesar yang tumbuh di bukit bebatuan batu karang, Minggu (10/2). Tanaman yang bisa tumbuh di lahan gersang ini menghasilkan biji yang dapat diolah menjadi minyak biodiesel.
Selasa, 26 Februari 2008 | 01:35 WIB

Nawa Tunggal

Pernyataan Tukijo (54) senada dengan Rudolf Diesel (1858-1913), penemu mesin diesel berkebangsaan Jerman. Tukijo, petani desa pelosok yang sama sekali tidak pernah mengenyam pengalaman soal energi itu, mengatakan, pada saatnya nanti pemakaian minyak dari biji jarak menjadi penting seperti pemakaian minyak bumi sekarang.

Rudolf Diesel cukup dikenal. Di antaranya melalui pidato penerimaan hak paten atas hasil karyanya berupa mesin berbahan bakar minyak kacang dan minyak ganja pada tahun 1912. Dia menyatakan, pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar untuk saat ini sepertinya tidak berarti. Tetapi, pada saatnya nanti akan menjadi penting, sebagaimana minyak bumi dan batu bara.

Tukijo ditemui Kompas pertengahan Februari lalu di tengah kesibukannya membuat kandang ayam di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak dua tahun terakhir, Tukijo terbilang paling banyak menanam jarak pagar (jatropha curcas) di desanya.

Dia menanam jarak karena berpegang pada pesan tetua desanya agar menjaga kelangsungan tanaman jarak. Sebab biji jarak akan memberikan manfaat manakala kegelapan malam sudah tidak bisa diatasi lagi, misalnya, ketika sudah tidak dapat ditemui lagi minyak seperti sekarang.

Dengan cara ditusuk seperti sate, menurut Tukijo, biji jarak menjadi bahan bakar untuk obor penerangan. Seperti itulah, sekarang biji jarak belum memiliki arti penting. Tetapi pada saatnya akan memberi manfaat.

”Semua lereng yang menjadi wewenang saya, dan luasnya sekitar lima hektar, sudah saya penuhi dengan tanaman jarak,” kata Tukijo dengan mantap.

Tukijo bersama Kastini, istrinya, sehari-hari lebih menggantungkan nafkah dari panenan jagung, ketela, kacang tanah, maupun padi tadah hujan. Juga hasil sampingan atas pesanan kandang ayam maupun mebel kayu. Nafkah yang mereka peroleh bisa menghidupi empat anaknya.

Harapan baru

Baru-baru ini, harapan memperoleh nafkah lain didapat Tukijo. Tukijo mendengar informasi dari sesama petani maupun warga lainnya kalau biji jarak yang semula tidak dipedulikan, dalam beberapa tahun ke depan akan memiliki harga tersendiri.

Hati Tukijo menjadi tergerak untuk menanam jarak di lahannya sebanyak mungkin. Apalagi penanaman jarak tergolong mudah.

”Dengan satu biji jarak bisa tumbuh dan berproduksi sampai puluhan tahun lamanya. Jarak juga bisa ditanam di lahan yang tidak subur atau berbatu sekalipun,” kata Tukijo.

Pada awalnya, Tukijo mengambil bibit jarak yang tumbuh liar untuk ditanam berjejer teratur di ladangnya yang berupa-lereng-lereng berbatu karang.

Lama-kelamaaan, ada anak- anak sekolahan yang sengaja mencari bibit jarak liar untuk dijual kepadanya. Tukijo pun sempat membeli 250 bibit jarak liar dari mereka dengan harga Rp 25 per batang.

Keinginan memperbanyak tanaman jarak diteruskan Tukijo dengan membeli enam pikul batang jarak dewasa dari warga lainnya. Setiap pikul memuat 12 ikat batang jarak dewasa untuk dijadikan stek.

Kemudian atas kepedulian sebuah perusahaan dari Kudus, Jawa Tengah, PT Pura Grup, Tukijo memperoleh bantuan tiga kilogram benih biji jarak. Setiap satu kilogram itu berisi sekitar 1.500 biji jarak.

Tukijo memperkirakan sudah lebih dari 15.000 batang pohon jarak ia tanam. Beberapa warga lainnya membenarkan, Tukijo tergolong petani yang paling banyak menanam jarak di desanya.

”Kalau saya baru menanam sekitar 5.000 batang jarak. Belum begitu banyak,” kata Suparman, petani lain di Desa Kanigoro.

Mandiri energi

Petani menanam jarak di Desa Kanigoro semata dirangsang oleh adanya informasi peluang pasar biji jarak dapat meningkatkan nafkah hidup. Petani yang menanam jarak di Desa Pendem, Kecamatan Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah, memperoleh intervensi dari pemerintah supaya menanam jarak untuk menciptakan desa mandiri energi.

Sahrijan (43), Ketua Kelompok Tani Jarak Sidomakmur di Desa Pendem, mengatakan, tidak mudah untuk menciptakan desa mandiri energi. Masyarakat memerlukan contohnya.

”Desa mandiri energi yang saya bayangkan, ketika saya bisa mengganti solar dengan minyak jarak yang bisa diproduksi sendiri untuk traktor pengolah tanah di sawah. Kemudian minyak jarak itu bisa juga untuk bahan bakar mesin pengolah kayu,” kata Sahrijan yang juga pengusaha kayu di Grobogan, wilayah yang cukup dikenal dari produksi kayu jatinya.

Sahrijan memiliki sawah berpengairan cukup untuk tanaman padi seluas tiga hektar. Ia menyisihkan sebagian lahan untuk 1.100 batang jarak yang diberikan dinas kehutanan setempat sebagai percontohan program desa mandiri energi.

Belum ada satu tahun menanam jarak, Sahrijan sudah bisa memanen buah awal di luar dugaannya. Pada April 2007, ia memetik biji jarak 55 kilogram (kg). Pada Juni 2007, hampir 100 kg ia dapatkan. Kemudian sebulan berikutnya, 46 kg ia petik lagi.

Biji jarak sekitar 200 kg itu lalu dijual Sahrijan ke Salatiga. Harga biji jarak kering itu mencapai Rp 2.000 per kilogram.

Sahrijan mengatakan, saat ini belum bisa mewujudkan desa mandiri energi karena pasokan biji jarak masih terbatas. Tidak banyak petani yang tertarik untuk memproduksi jarak sebelum ada contoh yang nyata-nyata bisa mendukung perekonomian mereka. ”Sampai sekarang saja baru ada empat anggota kelompok tani jarak di desa saya,” kata Sahrijan.

Skala nasional

Di dalam skala nasional, penanaman jarak mulai marak setelah ada Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Tetapi, tanaman jarak tidak berdiri sendiri sebagai bahan baku BBN.

Selain jarak, ada bahan baku BBN lainnya berupa singkong, tebu, dan kelapa sawit. Komoditas jarak dan kelapa sawit untuk diolah menjadi bahan bakar diesel atau biodiesel, sedangkan singkong dan tebu untuk bioetanol.

Seperti dilaporkan Ketua Timnas Pengembangan BBN Alhilal Hamdi kepada Presiden pada Desember 2007, dari target penanaman jarak tahun 2006-2010 seluas 1,59 juta hektar, saat ini baru tercapai 94.200 hektar.

Data penanaman bahan baku BBN berikutnya dengan tahun pencapaian target yang sama, berupa singkong dengan komitmen sejumlah investor seluas 782.000 hektar, baru dicapai 52.195 hektar. Untuk tebu ditargetkan 698.000 hektar, sudah terealisasi 400.100 hektar.

Kemudian untuk kelapa sawit hanya dipaparkan target sesuai komitmen 3,43 juta hektar. Saat ini, produksi kelapa sawit ditengarai lebih diutamakan untuk memenuhi permintaan pasar internasional karena harganya sedang membaik.

Di antara keempat bahan baku BBN itulah, jarak memiliki arti penting. Sebab jarak merupakan satu-satunya komoditas yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan.

Seperti komoditas kelapa sawit yang makin dimaui Eropa untuk bahan baku BBN, akhir-akhir ini melambungkan harga minyak mentah kelapa sawit. Produk pangan dari pengolahan minyak kelapa sawit seperti minyak goreng, kemudian terpengaruh.

Minyak goreng dalam beberapa waktu lalu sempat langka. Kemudian muncul kembali dengan harga yang turut melonjak.

Berbeda halnya jika minyak jarak sama-sama untuk bahan baku BBN jenis biodiesel yang ditingkatkan. Di situ pulalah letak arti penting saat ini menabur benih jarak untuk energi masa depan....